Hadi,
Perintis Sampyong dari Desa Jatipamor
Menjaga Warisan Budaya Leluhur
Seniman dan Budayawan Hadi (60)
mengatakan, seni budaya sampyong yang merupakan warisan leluhur kita harus
dijaga, dikembangkan, dan dilestarikan. Potensi seni budaya tersebut menjadi
kebanggaan kita, dan harus diwariskan kepada generasi muda, agar ke depan seni
yang membanggakan ini bisa bertahan dan tetap lestari.
“Saya terpanggil untuk memelihara
tradisi seni sampyong agar bisa diteruskan kepada anak cucu kita di masa yang
akan datang,” katanya saat dikunjungi Jurnal Majalengka di rumahnya di Desa
Jatipamor.
Hadi dan sejumlah seniman lainnya
sangat tertantang untuk mengembangkan tradisi leluhur sejak tahun 1960-an itu.
Hingga kini Hadi dan grupnya banyak menerima panggilan untuk pentas sampyong di
sejumlah desa di wilayah Kabupaten Majalengka dan luar kota.
Seperti
diketahui cikal bakal sampyong, tercatat pada tahun 1960 di daerah Cibodas
Kecamatan Majalengka tumbuh sebuah permainan rakyat yang dikenal dengan ujungan.
Permainan ini merupakan permainan adu ketangkassan dan kekuatan memukul dan
dipukul dengan mengunakan alat yang terbuat dari kayu atau rotan berukuran 60
cm. Pemain terdiri atas dua orang yang saling berhadapan, baik laki-laki maupun
perempuan, dipimpin oleh seorang wasit yang disebut malandang. Kedua
pemain menggunakan teregos, yaitu tutup kepala yang terbuat dari kain
yang diisi dengan bahan-bahan empuk sebagai pelindung kepala. Tutup kepala
demikian dikenal pula dengan sebutan balakutal. Sasaran pukulan pada permainan
ujungan tidak terbatas, dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa di tangkis.
Seorang pemain dapat memukul lawanya sebanyak-banyaknya, atau bahkan dipukul
sebanyak-banyaknya, hingga salah seorang diantaranya dinyatakan kalah karena
tidak lagi kuat manehan rasa sakit akibat pukulan.
Pada
deskripsi profil ini, ujungan tidak dikatagorikan seni bela diri, karena
seorang pemain tidak melakukan jurus tangkisan. Walupun demikian, permainan ini
tetap dianggap sebagai sebuah karya seni karena didalamnya terdapat unsur-unsur
kesenian, misalnya seperangkat gamelan pencak silat yang ditabuh sepanjang
permainan ujungan dilaksanakan. Adegan ibing pencak silat yang manis. Pukulan
ditandai dengan seruan sang maladang : “ Biluuk! “, disusul kemudian
dengan pukulan kearah yang diinginkan.
Karena
sifat permainan yang terlalu bebas, maka permainan ini dianggap terlalu
berbahaya dan tidak banyak orang yang sanggup memainkannya. Beberapa orang
tokoh ujungan mencoba membuat penyempurnaan-penyempurnaan, dengan cara
menyederhanakan aturan permainan. Setidaknya terdapat tiga butir aturan
esensial yang terdapat pada aturan permainan yang baru, yaitu seorang pemain
hanya diperkenankan memukul sebanyak 3 (tiga) kali pukulan; dan sasaran pukulan
hanya sebatas betis bagian belakang, tidak lebih dari itu. Pemain dapat bermain
pada kelas yang ditentukan menurut usia, misalnya golongtan tua, menengah,
pemuda, dan anak-anak.
Seiring
dengan berlakunya peraturan yang baru itu, maka nama ujungan pun ditinggalkan.
Nama permainanyang lebih populer adalah “ Sampyong ”, Sam = Tiga
dan Pyong = Pukulan. Nama baru ini terucap begitu saja dari salah seorang
penonton keturunan Cina ketika ia menyaksikan permainan ini. Kiranya ia
tertarik pada jumlah pukulan pada permaianan ini hingga kemudian terucaplah
kata Sampyong yang kemudian melekat menjadi sebutan permainan sampai
sekarang.
Sebagai
sebuah seni pertunjukan, sampyong dihidangkan pada acara-acara tertentu,
misalnya pada acara hajatan, dan kini lebih sering terlihat pada acara kontes
ketangkasan domba (adu domba). Berikut beberapa urutan pertunjukan sampyong
pada suatu acara khusus seluruh peserta memasuki arena dipimpin oleh seorang
wasit, melakukan penghormatan kepada penonton dengan iringan kendang pencak dan
lagu Golempang. Pertunjukan eksibisi, yang dimainkan oleh dua orang tokoh
ujungan, sebagai pertunjukan pembuka. Pertunjukan utama, seorang pemain berhadapan
dengan pemain lainnya menurut urutan panggilan, dipimpin oleh seorang maladang.
Diantara
Tokoh-tokoh yang mengembangkan seni sampyong salah satunya, Bpk. Hadi yang berasal dari Desa Jatipamor Kecamatan
Panyingkiran dan dia mempunyai Grup Seni “CITA LAKSANA”
GRUP CITA
LAKSANA SENI BUDAYA SAMPYONG DESA
JATIPAMOR KECAMATAN PANYINGKIRAN.
Pimpinan Grup Cita Laksana Bpk. Hadi, Ketua Sampyong Bpk. Toto/Walet, Tukang Kendang Bpk. Erna dan Miming, Tukang Trompet Bpk A.
Sanusi, Tukang Goong Bpk. Hamid, Tukang
Kecrek Bpk. A. Hadi, Tukang Ketuk Bpk Otong, Juru Kawih/sinden Ibu Ijah. Para Pemeran Sampyong Bpk Takrim, Radi, Koyod, Suman, Nata, Nalim,
Sarhawi, Oding, Muskahi, dan Adang. (gun)