Sabtu, 03 November 2012

Sampyong Harus Dilestarikan


Hadi, Perintis Sampyong dari Desa Jatipamor

Menjaga Warisan Budaya Leluhur

Seniman dan Budayawan Hadi (60) mengatakan, seni budaya sampyong yang merupakan warisan leluhur kita harus dijaga, dikembangkan, dan dilestarikan. Potensi seni budaya tersebut menjadi kebanggaan kita, dan harus diwariskan kepada generasi muda, agar ke depan seni yang membanggakan ini bisa bertahan dan tetap lestari.
“Saya terpanggil untuk memelihara tradisi seni sampyong agar bisa diteruskan kepada anak cucu kita di masa yang akan datang,” katanya saat dikunjungi Jurnal Majalengka di rumahnya di Desa Jatipamor.

Hadi dan sejumlah seniman lainnya sangat tertantang untuk mengembangkan tradisi leluhur sejak tahun 1960-an itu. Hingga kini Hadi dan grupnya banyak menerima panggilan untuk pentas sampyong di sejumlah desa di wilayah Kabupaten Majalengka dan luar kota. 

Seperti diketahui cikal bakal sampyong, tercatat pada tahun 1960 di daerah Cibodas Kecamatan Majalengka tumbuh sebuah permainan rakyat yang dikenal dengan ujungan. Permainan ini merupakan permainan adu ketangkassan dan kekuatan memukul dan dipukul dengan mengunakan alat yang terbuat dari kayu atau rotan berukuran 60 cm. Pemain terdiri atas dua orang yang saling berhadapan, baik laki-laki maupun perempuan, dipimpin oleh seorang wasit yang disebut malandang. Kedua pemain menggunakan teregos, yaitu tutup kepala yang terbuat dari kain yang diisi dengan bahan-bahan empuk sebagai pelindung kepala. Tutup kepala demikian dikenal pula dengan sebutan balakutal. Sasaran pukulan pada permainan ujungan tidak terbatas, dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa di tangkis. Seorang pemain dapat memukul lawanya sebanyak-banyaknya, atau bahkan dipukul sebanyak-banyaknya, hingga salah seorang diantaranya dinyatakan kalah karena tidak lagi kuat manehan rasa sakit akibat pukulan.

Pada deskripsi profil ini, ujungan tidak dikatagorikan seni bela diri, karena seorang pemain tidak melakukan jurus tangkisan. Walupun demikian, permainan ini tetap dianggap sebagai sebuah karya seni karena didalamnya terdapat unsur-unsur kesenian, misalnya seperangkat gamelan pencak silat yang ditabuh sepanjang permainan ujungan dilaksanakan. Adegan ibing pencak silat yang manis. Pukulan ditandai dengan seruan sang maladang : “ Biluuk! “, disusul kemudian dengan pukulan kearah yang diinginkan.

Karena sifat permainan yang terlalu bebas, maka permainan ini dianggap terlalu berbahaya dan tidak banyak orang yang sanggup memainkannya. Beberapa orang tokoh ujungan mencoba membuat penyempurnaan-penyempurnaan, dengan cara menyederhanakan aturan permainan. Setidaknya terdapat tiga butir aturan esensial yang terdapat pada aturan permainan yang baru, yaitu seorang pemain hanya diperkenankan memukul sebanyak 3 (tiga) kali pukulan; dan sasaran pukulan hanya sebatas betis bagian belakang, tidak lebih dari itu. Pemain dapat bermain pada kelas yang ditentukan menurut usia, misalnya golongtan tua, menengah, pemuda, dan anak-anak.

Seiring dengan berlakunya peraturan yang baru itu, maka nama ujungan pun ditinggalkan. Nama permainanyang lebih populer adalah “ Sampyong ”, Sam = Tiga dan Pyong = Pukulan. Nama baru ini terucap begitu saja dari salah seorang penonton keturunan Cina ketika ia menyaksikan permainan ini. Kiranya ia tertarik pada jumlah pukulan pada permaianan ini hingga kemudian terucaplah kata Sampyong yang kemudian melekat menjadi sebutan permainan sampai sekarang.

Sebagai sebuah seni pertunjukan, sampyong dihidangkan pada acara-acara tertentu, misalnya pada acara hajatan, dan kini lebih sering terlihat pada acara kontes ketangkasan domba (adu domba). Berikut beberapa urutan pertunjukan sampyong pada suatu acara khusus seluruh peserta memasuki arena dipimpin oleh seorang wasit, melakukan penghormatan kepada penonton dengan iringan kendang pencak dan lagu Golempang. Pertunjukan eksibisi, yang dimainkan oleh dua orang tokoh ujungan, sebagai pertunjukan pembuka. Pertunjukan utama, seorang pemain berhadapan dengan pemain lainnya menurut urutan panggilan, dipimpin oleh seorang maladang.

Diantara Tokoh-tokoh yang mengembangkan seni sampyong salah satunya, Bpk. Hadi yang  berasal dari Desa Jatipamor Kecamatan Panyingkiran dan dia mempunyai Grup Seni “CITA LAKSANA”

GRUP CITA LAKSANA SENI BUDAYA  SAMPYONG DESA JATIPAMOR KECAMATAN PANYINGKIRAN.

Pimpinan Grup Cita Laksana Bpk.  Hadi, Ketua Sampyong Bpk.  Toto/Walet, Tukang Kendang Bpk.  Erna dan Miming, Tukang Trompet  Bpk  A. Sanusi, Tukang Goong Bpk.  Hamid, Tukang Kecrek  Bpk.  A. Hadi, Tukang Ketuk Bpk Otong, Juru Kawih/sinden   Ibu Ijah. Para Pemeran Sampyong  Bpk Takrim, Radi, Koyod, Suman, Nata, Nalim, Sarhawi, Oding, Muskahi, dan Adang. (gun) 

2 komentar:

  1. bisa minta no kontaknya pak hadi
    saya bisa di hubungi di no 0815 1440 6422 ( budi )

    BalasHapus
  2. kami ingib membuat film dokumenter tentang GAOK
    mohon minta kontak pak hadi group cita laksana

    BalasHapus